"Best Friend Forever,"
gumamku. “Sahabat sejati? Apa hal seperti ini benar-benar ada di dunia nyata?
Ah, mana mungkin," ucapku sambil menutup novel yang baru selesai kubaca tersebut.
Aku meletakkannya di rak buku lalu berbaring di kasur kesayanganku. Namun,
bayangan tentang sahabat sejati kembali muncul di pikiranku. Mungkinkah
sahabat-sahabatku saat ini adalah sahabat sejati seperti dalam novel?
"Hai, Ara!", sapa seseorang di
belakangku yang suaranya sangat kukenal. Ya, namaku Ara. Orang yang baru saja
menyapaku adalah Nayla, salah seorang sahabatku. "Hai juga, Nayla!"
sahutku dengan nada gembira sambil menoleh ke arahnya. "Ra, aku kangen
banget sama kamu. Aku pengin cerita banyak sekali tentang liburan
kemarin," kata Nayla lalu menggandeng tanganku. "Wah, aku juga, Nay!
Cerita sambil jalan, yuk," jawabku. Kami pun terus berjalan sambil
menceritakan pengalaman liburan masing-masing.
Ketika sampai di sebuah gerbang sekolah,
aku dan Nayla berhenti sejenak. Gerbang tersebut bertuliskan SMP Negeri 20
Malang. Hari ini adalah hari pertamaku di kelas 9 setelah liburan kenaikan
kelas. Liburan kali ini memang lebih lama dari liburan biasanya, karena itu aku
sangat merindukan sekolah dan teman-temanku. Aku terus memandang gerbang
tersebut sampai seseorang menepuk punggungku,
"Hai, Ara! Hai, Nayla!". Belum
sempat aku menoleh ke belakang, sang pemilik suara tau-tau sudah berada di depan
kami. Orang itu adalah Rania, sahabatku yang lain. "Hai juga,
Rania!", sahutku dan Nayla berbarengan. "Cuma berdua aja? Sarah
mana?" tanya Rania. "Oh iya, Sarah udah datang duluan mungkin. Masuk,
yuk, aku nggak sabar ketemu dia!", jawabku. "Yuk!"
Aku, Nayla, dan Sarah pun segera melewati
gerbang sekolah dan berjalan menuju gazebo. Benar juga, ternyata di sana sudah
ada Sarah. Sarah adalah sahabatku sejak kelas 7, selain Nayla dan Rania tentunya.
Aku merasa sangat beruntung bisa mengenal mereka, bahkan menjadi sahabat
mereka. Sejak kelas 7, aku selalu berada dalam satu kelas bersama mereka. Itu
sebabnya kami selalu kompak dalam hal apapun, ke manapun kami selalu bersama.
"Sarah!", seru kedua sahabatku
sambil berlari ke arah Sarah. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka.
"Hai Ran, Nay, Ra! Aku kangen kalian semua," jawab Sarah. "Hai,
Sarah! Udah datang dari tadi? Maaf ya, nunggu lama," kataku. "Nggak
juga, belum lama kok. Tenang saja, aku sudah terbiasa, Ra." Di antara kami
berempat, memang Sarah yang sering datang lebih awal.
"Oh iya, hari ini kan pembagian
kelas," kata Nayla tiba-tiba. "Oh iya, lihat yuk! Mudah-mudahan kita
sekelas lagi ya!", jawabku. "Amin!", kami pun langsung bergegas
menuju papan pembagian kelas. Mataku terus menyusuri tiap-tiap kertas berisi
nama-nama teman seangkatanku tersebut. Ah, akhirnya aku menemukan namaku di
kelas 9A. Namun, aku tidak menemukan nama ketiga sahabatku di kelas yang sama. Nama
mereka ada di kelas 9B.
"Wah, kita nggak sekelas, Ra. Aku, Nayla,
sama Rania masuk 9B," kata Sarah. "Yah, aku sendirian di 9A,"
jawabku. "Nggak apa-apa, Ra. Kelas kita kan bersebelahan," kata Rania
berusaha menghiburku. "Iya Ra, tenang aja. Kalau jam istirahat kan kita
bisa kumpul lagi. Bagaimanapun keadaannya kita tetap sahabat kok," tambah Nayla.
"Hmm, iya deh. Makasih banyak ya, kalian memang sahabat terbaikku,"
jawabku.
"Kring.. kring.. kring..," bel
masuk berbunyi. "Wah, udah bel. Masuk yuk. Nanti istirahat ke kelas kami
ya, Ra." kata Sarah. "Oke, aku duluan ya," jawabku sambil
berjalan menuju kelasku.
Hari
demi hari berlalu, rutinitasku di sekolah selalu sama. Mengikuti kegiatan
belajar di kelas, berkumpul dengan ketiga sahabatku pada jam istirahat, dan
saling bercerita tentang isi hati masing-masing saat pulang sekolah. Selalu
begitu, sampai akhirnya kesibukanku di kelas 9 membatasi waktuku berkumpul
dengan mereka.
Pada
jam istirahat aku menghabiskan waktu untuk sholat dhuha. Ketika kembali ke
kelas, bel selesai istirahat telah berbunyi sehingga aku tidak punya waktu
bahkan untuk sekedar menyapa ketiga sahabatku. Begitu juga pada jam pulang
sekolah. Setelah bel berbunyi dan guru yang sedang mengajar telah meninggalkan
kelas, aku segera menuju ke musholla untuk melaksanakan sholat dzuhur. Ketika
aku selesai sholat dan kembali ke kelas, mereka sudah pulang. Jelas saja aku
tidak sempat berbagi cerita dengan mereka.
Sampai
suatu hari ketika waktuku sedikit longgar, aku bertemu ketiga sahabatku dan
menyapa mereka. Namun, betapa terkejutnya aku ketika mereka tidak membalas
sapaanku. Mereka justru menatapku dengan sinis lalu memalingkan muka. Dadaku
terasa sakit. Orang-orang yang telah menjadi sahabatku selama lebih dari dua
tahun, tiba-tiba bersikap seperti ini kepadaku. Aku tak habis pikir. Apa
salahku? Apa karena aku tidak pernah berkumpul bersama mereka akhir-akhir ini?
Tetapi mereka harusnya mengerti, mereka telah mengenalku lebih dari dua tahun.
Hari
demi hari berlalu, sikap mereka kepadaku masih sama. Mereka masih saja
mengabaikanku dan memberi tatapan sinis padaku. Aku selalu berusaha menyapa mereka,
namun mereka justru meninggalkanku. Saat
itu aku mulai berpikiran bahwa mereka mengingkari janjinya untuk selalu menjadi
sahabatku apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaannya.
Sampai
pada suatu hari, ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, aku
menemukan secarik kertas di tempat pensilku. Kertas tersebut bertuliskan sebuah pesan,
“pulang sekolah, gazebo.” Sepertinya aku sangat mengenal tulisan tangan
tersebut. Tapi tulisan tangan siapa itu?
Selama
pelajaran berlangsung, pikiranku tidak tenang. Aku tidak fokus memerhatikan
pelajaran hari itu. Aku terus memikirkan siapa pengirim pesan tadi, namun aku
tak kunjung mendapatkan jawabannya. Hingga akhirnya, bel pulang sekolah pun
berbunyi. Setelah berdoa, aku segera berlari menuju gazebo untuk menghilangkan
rasa penasaranku.
Sesampainya
di gazebo, aku tak menemukan seorangpun yang kukenal di sana. Rasa penasaranku mendadak
berubah menjadi cemas. Tiba-tiba, kurasakan sebuah tepukan ringan mendarat
punggungku. Aku menoleh dan betapa terkejutnya aku mendapati Sarah di depan
mataku, bersama Rania dan Nayla tentunya.
Benar
juga, tulisan tangan itu adalah tulisan Rania. Bagaimana bisa aku melupakannya?
Tulisannya memang sedikit berbeda sejak terakhir kali aku melihatnya, tapi
jelas sekali itu adalah tulisannya. Ah, aku memang sahabat terburuk yang pernah
ada.
Spontan,
aku langsung memeluk ketiganya. Tanpa kusadari, airmata telah membanjiri
pipiku. Aku tak mampu berkata-kata,
begitu juga dengan ketiga sahabatku. Suasana hening selama beberapa saat, hanya
suara isak tangisku yang terdengar.
Hingga
akhirnya, Nayla pun memulai pembicaraan. “Udah, Ra, nggak usah nangis lagi.”
Aku berusaha menghentikan tangisku sambil menatap matanya, “Maaf, maafkan aku..
aku bukan sahabat yang baik buat kalian. Maaf karena akhir ini aku nggak bisa
meluangkan waktu buat kalian, bahkan sekedar mampir ke kelas kalian pun nggak
pernah,” Aku pasrah menerima reaksi mereka, mereka mungkin akan memarahiku
habis-habisan. Ternyata, reaksi mereka sungguh di luar dugaanku. Mereka justru
tertawa mendengar permintaan maafku.
“Kamu
ngapain minta maaf, Ra? Setelah kami mengabaikan kamu habis-habisan, bukannya
marah sama kami, kamu justru minta maaf. Dan kamu bilang kamu bukan sahabat
yang baik buat kami? Kamu itu sahabat terbaik kami, Ra!” kata Rania
mengejutkanku. “Tapi, kalian mengabaikanku pasti ada alasannya kan? Dan aku
sadar, aku memang salah nggak pernah meluangkan waktu untuk kalian,” jawabku.
“Jujur,
kami memang sedikit kecewa karena kamu jarang ada buat kami akhir-akhir ini.
Tapi kami maklum kok Ra, kami kenal kamu sejak kelas 7. Kami bisa ngerti
keadaanmu kok,” sahut Sarah. “Benar sekali. Alasan kami mengabaikanmu, itu
karena hari ini kamu ulang tahun, Ra!” Nayla ikut menimpali.
“Apa?!” hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku.
Tawa ketiga sahabatku kembali meledak. “Hari ini hari ulang tahunmu, Ra! Ya
ampun, apa kamu lupa?” Benar juga, hari ini tanggal 28 April, hari ulang
tahunku. Bagaimana aku bisa melupakannya?
“Ara,
Ara.. Sangking sibuknya, hari bahagianya sendiri saja sampai lupa.” celetuk
Sarah. Kami semua tertawa mendengarnya. Sesaat kemudian aku tersadar, berarti
mereka mengabaikanku selama ini hanya untuk mengerjaiku? Tawaku langsung
berubah menjadi ekspresi cemberut.
“Ra,
kamu kenapa? Mulutnya kayak bebek gitu,” kata Rania melihat perubahan ekspresi
wajahku. “Hehe, marah ya kita kerjain kayak gini?” Aku tetap tidak menjawab.
“Habisnya kamu nggak pernah marah sih, akhirnya kita bikin rencana kayak gini
deh,” Sarah menimpali. “Iya, jangan marah dong, Ra. Cantiknya hilang lho,”
sahut Nayla. Aku menahan senyum mendengarnya. Melihat hal itu, Nayla melanjutkan,
“Eh, aku salah ngomong tadi. Anggap aja aku nggak pernah bilang gitu.” Kami
berempat pun tertawa bersama.
“Oh
iya, aku hampir lupa. Ini buat kamu, Ra,” kata Sarah sambil menyodorkan sebuah
kotak yang dibungkus dengan kertas kado berwarna coklat polos kepadaku. “Apa
ini?” kataku. “Hadiah ulang tahunmu, buka aja.” Aku membuka kertas kado itu
perlahan, betapa terkejutnya aku ketika melihat isinya, sebuah novel yang sudah
lama sekali ingin kubeli. “I-Ini kan mahal sekali harganya! Kenapa kalian beli
ini buat aku? Uangnya kan bisa kalian tabung,”
“Nggak
apa-apa kok, Ra. Kami memang sengaja menyisakan uang tabungan kami buat kamu,
nggak usah khawatir,” kata Rania. “Yang penting kamu senang, kami juga ikut
senang kok.” Aku terharu mendengarnya, “Terima kasih, kawan. Ini hadiah ulang
tahun terindah yang pernah kuterima. Kalian memang sahabat terbaikku.” Kami
bertiga pun berpelukan, bercerita sejenak, lalu pulang bersama-sama.
Sejak
saat itu, aku sadar bahwa Rania, Sarah, dan Nayla adalah sahabat terbaikku.
Sahabat yang mengerti keadaan satu sama lain, dan akan selalu ada tak peduli
apapun yang terjadi. Sahabat sejati, seperti yang terdapat dalam novel. Aku
sungguh bersyukur memiliki sahabat seperti mereka.