Cerpen: Sahabat Sejati

| Rabu, 25 Februari 2015

"Best Friend Forever," gumamku. “Sahabat sejati? Apa hal seperti ini benar-benar ada di dunia nyata? Ah, mana mungkin," ucapku sambil menutup novel yang baru selesai kubaca tersebut. Aku meletakkannya di rak buku lalu berbaring di kasur kesayanganku. Namun, bayangan tentang sahabat sejati kembali muncul di pikiranku. Mungkinkah sahabat-sahabatku saat ini adalah sahabat sejati seperti dalam novel? 


"Hai, Ara!", sapa seseorang di belakangku yang suaranya sangat kukenal. Ya, namaku Ara. Orang yang baru saja menyapaku adalah Nayla, salah seorang sahabatku. "Hai juga, Nayla!" sahutku dengan nada gembira sambil menoleh ke arahnya. "Ra, aku kangen banget sama kamu. Aku pengin cerita banyak sekali tentang liburan kemarin," kata Nayla lalu menggandeng tanganku. "Wah, aku juga, Nay! Cerita sambil jalan, yuk," jawabku. Kami pun terus berjalan sambil menceritakan pengalaman liburan masing-masing.
Ketika sampai di sebuah gerbang sekolah, aku dan Nayla berhenti sejenak. Gerbang tersebut bertuliskan SMP Negeri 20 Malang. Hari ini adalah hari pertamaku di kelas 9 setelah liburan kenaikan kelas. Liburan kali ini memang lebih lama dari liburan biasanya, karena itu aku sangat merindukan sekolah dan teman-temanku. Aku terus memandang gerbang tersebut sampai seseorang menepuk punggungku,
"Hai, Ara! Hai, Nayla!". Belum sempat aku menoleh ke belakang, sang pemilik suara tau-tau sudah berada di depan kami. Orang itu adalah Rania, sahabatku yang lain. "Hai juga, Rania!", sahutku dan Nayla berbarengan. "Cuma berdua aja? Sarah mana?" tanya Rania. "Oh iya, Sarah udah datang duluan mungkin. Masuk, yuk, aku nggak sabar ketemu dia!", jawabku. "Yuk!"
Aku, Nayla, dan Sarah pun segera melewati gerbang sekolah dan berjalan menuju gazebo. Benar juga, ternyata di sana sudah ada Sarah. Sarah adalah sahabatku sejak kelas 7, selain Nayla dan Rania tentunya. Aku merasa sangat beruntung bisa mengenal mereka, bahkan menjadi sahabat mereka. Sejak kelas 7, aku selalu berada dalam satu kelas bersama mereka. Itu sebabnya kami selalu kompak dalam hal apapun, ke manapun kami selalu bersama.
"Sarah!", seru kedua sahabatku sambil berlari ke arah Sarah. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka. "Hai Ran, Nay, Ra! Aku kangen kalian semua," jawab Sarah. "Hai, Sarah! Udah datang dari tadi? Maaf ya, nunggu lama," kataku. "Nggak juga, belum lama kok. Tenang saja, aku sudah terbiasa, Ra." Di antara kami berempat, memang Sarah yang sering datang lebih awal.
"Oh iya, hari ini kan pembagian kelas," kata Nayla tiba-tiba. "Oh iya, lihat yuk! Mudah-mudahan kita sekelas lagi ya!", jawabku. "Amin!", kami pun langsung bergegas menuju papan pembagian kelas. Mataku terus menyusuri tiap-tiap kertas berisi nama-nama teman seangkatanku tersebut. Ah, akhirnya aku menemukan namaku di kelas 9A. Namun, aku tidak menemukan nama ketiga sahabatku di kelas yang sama. Nama mereka ada di kelas 9B.
"Wah, kita nggak sekelas, Ra. Aku, Nayla, sama Rania masuk 9B," kata Sarah. "Yah, aku sendirian di 9A," jawabku. "Nggak apa-apa, Ra. Kelas kita kan bersebelahan," kata Rania berusaha menghiburku. "Iya Ra, tenang aja. Kalau jam istirahat kan kita bisa kumpul lagi. Bagaimanapun keadaannya kita tetap sahabat kok," tambah Nayla. "Hmm, iya deh. Makasih banyak ya, kalian memang sahabat terbaikku," jawabku.
"Kring.. kring.. kring..," bel masuk berbunyi. "Wah, udah bel. Masuk yuk. Nanti istirahat ke kelas kami ya, Ra." kata Sarah. "Oke, aku duluan ya," jawabku sambil berjalan menuju kelasku.
Hari demi hari berlalu, rutinitasku di sekolah selalu sama. Mengikuti kegiatan belajar di kelas, berkumpul dengan ketiga sahabatku pada jam istirahat, dan saling bercerita tentang isi hati masing-masing saat pulang sekolah. Selalu begitu, sampai akhirnya kesibukanku di kelas 9 membatasi waktuku berkumpul dengan mereka.
Pada jam istirahat aku menghabiskan waktu untuk sholat dhuha. Ketika kembali ke kelas, bel selesai istirahat telah berbunyi sehingga aku tidak punya waktu bahkan untuk sekedar menyapa ketiga sahabatku. Begitu juga pada jam pulang sekolah. Setelah bel berbunyi dan guru yang sedang mengajar telah meninggalkan kelas, aku segera menuju ke musholla untuk melaksanakan sholat dzuhur. Ketika aku selesai sholat dan kembali ke kelas, mereka sudah pulang. Jelas saja aku tidak sempat berbagi cerita dengan mereka.
Sampai suatu hari ketika waktuku sedikit longgar, aku bertemu ketiga sahabatku dan menyapa mereka. Namun, betapa terkejutnya aku ketika mereka tidak membalas sapaanku. Mereka justru menatapku dengan sinis lalu memalingkan muka. Dadaku terasa sakit. Orang-orang yang telah menjadi sahabatku selama lebih dari dua tahun, tiba-tiba bersikap seperti ini kepadaku. Aku tak habis pikir. Apa salahku? Apa karena aku tidak pernah berkumpul bersama mereka akhir-akhir ini? Tetapi mereka harusnya mengerti, mereka telah mengenalku lebih dari dua tahun.
Hari demi hari berlalu, sikap mereka kepadaku masih sama. Mereka masih saja mengabaikanku dan memberi tatapan sinis padaku. Aku selalu berusaha menyapa mereka, namun mereka justru meninggalkanku.  Saat itu aku mulai berpikiran bahwa mereka mengingkari janjinya untuk selalu menjadi sahabatku apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaannya.
Sampai pada suatu hari, ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, aku menemukan secarik kertas di tempat pensilku.  Kertas tersebut bertuliskan sebuah pesan, “pulang sekolah, gazebo.” Sepertinya aku sangat mengenal tulisan tangan tersebut. Tapi tulisan tangan siapa itu?
Selama pelajaran berlangsung, pikiranku tidak tenang. Aku tidak fokus memerhatikan pelajaran hari itu. Aku terus memikirkan siapa pengirim pesan tadi, namun aku tak kunjung mendapatkan jawabannya. Hingga akhirnya, bel pulang sekolah pun berbunyi. Setelah berdoa, aku segera berlari menuju gazebo untuk menghilangkan rasa penasaranku.
Sesampainya di gazebo, aku tak menemukan seorangpun yang kukenal di sana. Rasa penasaranku mendadak berubah menjadi cemas. Tiba-tiba, kurasakan sebuah tepukan ringan mendarat punggungku. Aku menoleh dan betapa terkejutnya aku mendapati Sarah di depan mataku, bersama Rania dan Nayla tentunya.
Benar juga, tulisan tangan itu adalah tulisan Rania. Bagaimana bisa aku melupakannya? Tulisannya memang sedikit berbeda sejak terakhir kali aku melihatnya, tapi jelas sekali itu adalah tulisannya. Ah, aku memang sahabat terburuk yang pernah ada.
Spontan, aku langsung memeluk ketiganya. Tanpa kusadari, airmata telah membanjiri pipiku. Aku  tak mampu berkata-kata, begitu juga dengan ketiga sahabatku. Suasana hening selama beberapa saat, hanya suara isak tangisku yang terdengar.
Hingga akhirnya, Nayla pun memulai pembicaraan. “Udah, Ra, nggak usah nangis lagi.” Aku berusaha menghentikan tangisku sambil menatap matanya, “Maaf, maafkan aku.. aku bukan sahabat yang baik buat kalian. Maaf karena akhir ini aku nggak bisa meluangkan waktu buat kalian, bahkan sekedar mampir ke kelas kalian pun nggak pernah,” Aku pasrah menerima reaksi mereka, mereka mungkin akan memarahiku habis-habisan. Ternyata, reaksi mereka sungguh di luar dugaanku. Mereka justru tertawa mendengar permintaan maafku.
“Kamu ngapain minta maaf, Ra? Setelah kami mengabaikan kamu habis-habisan, bukannya marah sama kami, kamu justru minta maaf. Dan kamu bilang kamu bukan sahabat yang baik buat kami? Kamu itu sahabat terbaik kami, Ra!” kata Rania mengejutkanku. “Tapi, kalian mengabaikanku pasti ada alasannya kan? Dan aku sadar, aku memang salah nggak pernah meluangkan waktu untuk kalian,” jawabku.
“Jujur, kami memang sedikit kecewa karena kamu jarang ada buat kami akhir-akhir ini. Tapi kami maklum kok Ra, kami kenal kamu sejak kelas 7. Kami bisa ngerti keadaanmu kok,” sahut Sarah. “Benar sekali. Alasan kami mengabaikanmu, itu karena hari ini kamu ulang tahun, Ra!” Nayla ikut menimpali.
“Apa?!”  hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku. Tawa ketiga sahabatku kembali meledak. “Hari ini hari ulang tahunmu, Ra! Ya ampun, apa kamu lupa?” Benar juga, hari ini tanggal 28 April, hari ulang tahunku. Bagaimana aku bisa melupakannya?
“Ara, Ara.. Sangking sibuknya, hari bahagianya sendiri saja sampai lupa.” celetuk Sarah. Kami semua tertawa mendengarnya. Sesaat kemudian aku tersadar, berarti mereka mengabaikanku selama ini hanya untuk mengerjaiku? Tawaku langsung berubah menjadi ekspresi cemberut.
“Ra, kamu kenapa? Mulutnya kayak bebek gitu,” kata Rania melihat perubahan ekspresi wajahku. “Hehe, marah ya kita kerjain kayak gini?” Aku tetap tidak menjawab. “Habisnya kamu nggak pernah marah sih, akhirnya kita bikin rencana kayak gini deh,” Sarah menimpali. “Iya, jangan marah dong, Ra. Cantiknya hilang lho,” sahut Nayla. Aku menahan senyum mendengarnya. Melihat hal itu, Nayla melanjutkan, “Eh, aku salah ngomong tadi. Anggap aja aku nggak pernah bilang gitu.” Kami berempat pun tertawa bersama.
“Oh iya, aku hampir lupa. Ini buat kamu, Ra,” kata Sarah sambil menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado berwarna coklat polos kepadaku. “Apa ini?” kataku. “Hadiah ulang tahunmu, buka aja.” Aku membuka kertas kado itu perlahan, betapa terkejutnya aku ketika melihat isinya, sebuah novel yang sudah lama sekali ingin kubeli. “I-Ini kan mahal sekali harganya! Kenapa kalian beli ini buat aku? Uangnya kan bisa kalian tabung,”
“Nggak apa-apa kok, Ra. Kami memang sengaja menyisakan uang tabungan kami buat kamu, nggak usah khawatir,” kata Rania. “Yang penting kamu senang, kami juga ikut senang kok.” Aku terharu mendengarnya, “Terima kasih, kawan. Ini hadiah ulang tahun terindah yang pernah kuterima. Kalian memang sahabat terbaikku.” Kami bertiga pun berpelukan, bercerita sejenak, lalu pulang bersama-sama. 
Sejak saat itu, aku sadar bahwa Rania, Sarah, dan Nayla adalah sahabat terbaikku. Sahabat yang mengerti keadaan satu sama lain, dan akan selalu ada tak peduli apapun yang terjadi. Sahabat sejati, seperti yang terdapat dalam novel. Aku sungguh bersyukur memiliki sahabat seperti mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲